Kebahagiaan Seperti Permen

Hujan tidak menunjukan kondisi akan berhenti dari kemarin sore. Sebenarnya bulan ini bukan waktunya musim hujan, tetapi hujan selalu datang dua hari di tiap pekan. Hujan ini menyebabkan Gia pergi kerja agak siang karena merasa malas menggunakan motor. “Gocar aja Gi, daripada telat masuk kantor” ujar mamanya yang baru selesai sarapan. Gia yang dari tadi menatap keluar jendela untuk memastikan gerimis tidak lagi terasa lebat merasa bimbang. “Ndak ah ma, sayang duit. Lumayan gocar ke kantor dua puluh lima ribu bisa buat beli bensin full tank motor sendiri” ujar Gia dengan manyun. “Yampun pelit kebangetan, untuk diri sendiri juga” jawab mama sinis.
Setelah berpikir panjang, akhirnya Gia memutuskan untuk memakai jas hujan dengan terpaksa. “Dari tadi kek” ujar mamanya saat Gia pamit pergi. Gia diam tanpa merespon perkataan sang mama dan langsung bergegas pergi. 
Waktu menunjukan hampir setengah sembilan pagi, tetapi jalanan masih terlihat ramai dengan mobil-mobil. Sepertinya kemacetan baru bisa terurai terlihat dari ramainya mobil, tetapi jalanan sudah lengang. Gia memacu motor maticnya dengan kecepatan sedang, “Ngeri juga mau ngebut, jalanan basah takut licin” ucapnya dalam hati. Setelah melalui perjalanan selama 25 menit, Gia sampai di kantor.  
Gia merupakan karyawan baru disalah satu asuransi swasta, ia baru bekerja sekitar dua bulan dengan status masa percobaan. “Jam segini baru sampe, Gi?” tanya salah satu temannya dengan melihat jam tangan yang hampir menunjukan pukul sembilan lewat lima belas menit. “Iya ujan nih, rada macet juga” jawab Gia sedikit berbohong. “Baru pecobaan aja udah berani telat” saut Sasa sinis. Sasa memang selalu tidak suka apa yang dilakukan Gia, ia merasa tersaingi dengan kinerja Gia yang baik saat bekerja. Mendengar hal itu Gia hanya melirik dan memilih tak menanggapinya. Sasa sudah sering  menyindir Gia tentang apapun yang dilakukan Gia. Sebenarnya Gia ingin melawan sindiran Sasa, tapi ia masih tahu diri karena masih dalam masa percobaan kerjanya.
Saat jam istirahat, Gia yang sedang makan siang di warung makan seberang kantor mendapat pesan broadcast dari teman satu organisasi waktu dia kuliah. Pesan tersebut berisi tentang organisasi sosial yang sedang mencari relawan tambahan untuk bisa bergabung pada kegiatan memperbaiki sekolah dan juga menjadi tenaga pengajar di sebuah daerah terpencil. Ingatannya kembali pada masa lalu. Masa saat dia sibuk kuliah tapi tidak lupa menyempatkan waktu untuk berbagi dengan anak-anak yang putus sekolah. Gia berpikir kembali untuk mengikuti kegiatan ini. Sebenarnya dia merindukan kegiatan seperti ini, sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak. Pekerjaan yang saat ini ia lakukan hanya untuk mengisi hari-harinya agar tidak menganggur setelah lulus kuliah. Gia yang merupakan sarjana pendidikan merasa terpanggil jiwanya kembali untuk selalu membantu masyarakat yang membutuhkan bantuan, terutama tentang pendidikan. Dia memustuskan untuk ikut kegiatan sosial ini, dan melepaskan pekerjaannya. Pikirannya saat ini hanya satu, dirinya harus bermanfaat untuk orang banyak.
“Ma, kayaknya aku akan berhenti kerja deh” ujar Gia sambil melemparkan tasnya ketempat tidur, ia baru saja pulang kerja. “Hah? Kenapa? Baru juga kerja dua bulan, masa percobaan lagi. Emang mau ngapain kalo ndak kerja?” respon mama Gia, kaget. Gia dengan ekspresi santainya sambil membuka kulkas, diam, dia merasa haus dan harus minum dulu. “Aku mau ikut kegiatan sosial, memperbaiki sekolah dan menjadi relawan tenaga pengajar di sekolah itu juga Ma” ujarnya santai. “Hah ikut kaya begituan? Gak penting banget sih, sekarang tuh waktunya kamu cari uang. Udah dikuliahin mahal-mahal, lulus malah ndak mau kerja. Malahan ngelakuin kegiatan yang aneh-aneh. Kan bisa bantu dengan kasi duit doang, ndak harus juga turun langsung ke sana. Emang kamu dikasih gaji di sana?” jawab mamanya panjang, heran dengan pikiran anaknya. “Ma, mumpung aku masih belom tua, masih bisa jalan, bisa gerak, kenapa ndak untuk bantu orang lain. Hidup ndak selalu tentang materi terus yang dicari Ma, adakalanya harus bantu orang dengan tenaga kita sendiri. Emang kenapa sih, anak mau buat baik aja gak didukung?” jelas Gia. Mama Gia tak mempedulikan jawaban anaknya. Ia langsung masuk ke kamar dengan ekspresi sinisnya.
Gia yang baru saja pulang kantor dan mengetahui sikap mamanya seperti itu membuatnya tak ambil pusing. Ia langsung pergi mandi untuk merilekskan tubuhnya. Selesai membersihkan badan, Gia berbaring sejenak, melamun, entah apa yang dilamunkannya. Lalu ia teringat Ryan, teman yang mengirimkan pesan broadcast padanya. Gia pun bergegas mengambil handphone menghubungi Ryan, ia ingin memastikan kegiatan tersebut masih memerlukan orang untuk bergabung.
Tanpa terasa menit terasa cepat berjalan, malam datang. Gia merasa lapar dan  menuju meja makan, ternyata di sana ada abah beserta ibu dan adiknya. “Bah, Gia mau minta saran. Gia mau ikut kegiatan sosial yang diadain teman Gia yaitu memperbaiki sekolah dan menjadi relawan pengajar, tempatnya di desa. Gia akan meninggalkan pekerjaan Gia yang sekarang. Menurut Abah gimana?” ujar Gia menjelaskan hal ini pada abahnya. “Maksudnya meninggalkan pekerjaan, berhenti bekerja gitu?” jawab Abah sedikit bingung. “Iya Bah, karna kegiatan itu berlangsung sekitar satu atau dua bulan” jawab Gia. “Yahh, Abah sih terserah kamunya aja, kalau semua sudah dipertimbangkan baik-baik setelah selesai kegiatan itu kamu akan dapat kerjaan lagi atau tidak. Kamu kan sudah dewasa, ya tau mana yang baik menurut kamu atau gak. Semuanya Abah balikin ke kamu” terang ayahnya. Gia merasa senang dengan jawaban abah. Ia merasa apa yang ia inginkan bisa berjalan sesuai dengan keinginannya. 

Keesokan harinya Gia berangkat lumayan awal dari biasanya, ekspresinya ceria. “Tumben awal Gi? Setengah delapan aja belom” tanya mamanya. “Iya ma, mau beresin meja kantor. Mau resignucap Gia santai. “Jadi beneran mau ikut kegiatan itu?” tanya mamanya kembali dengan heran. Heran karena Gia memutuskan hal ini begitu cepat. Gia tidak menjawab, ia hanya mengangguk atas pertanyaan sang mama. Setelah berpamitan, Gia langsung meluncur dengan motor matic andalannya.
Jalan masih terlihat penuh kendaraan. Orang-orang yang melintas terlihat sibuk. Bisa dibaca dari cara mengendalikan kendaraanya dengan pacuan serius ditambah lagi suara klakson yang saling beradu. Semuanya terlihat ingin duluan menang ke tempat tujuan. Gia masih menjalankan motornya dengan kecepatan sedang.
Setelah sepuluh menit bermacet-macet, akhirnya Gia sampai kantor yang belum terlalu ramai. Ia langsung menuju meja kerjanya dan mengemaskan semua barang-barang yang ada di meja kerja. Nita, teman kantor Gia yang hanya bersebelahan meja, heran dengan Gia yang mengemaskan meja kerjanya. “Gi, mau kemana? Kok beberes meja?” ujar wanita dengan potongan rambut bob itu. “Hm, mau.. mau.. aku mau resign, Nit” jawab Gia dengan suaranya yang diperkecil menyebut kata resign. Nita terbelalak, ia kaget. Gia tak pernah menyinggung-nyinggung hal seperti soal resign pada setiap obrolan tak penting mereka. “Seriusan Gi? Kamu ndak lagi canda kan?” air muka Nita berubah sedih. Gia dan Nita memang teman akrab dari pertama masuk. Nita juga masih masa kerja percobaan. Mereka berdua selalu menceritakan apa saja, penting atau tidak penting.
Gia diam, raut wajahnya juga berubah. Sepersekian detik ia kembali mengukir senyum cantik diwajah ayunya. Sekarang matanya menatap Nita yang menunduk lesu “Nit, maaf loh ya. Aku lupa ngasi tau kamu. Inipun mendadak tanpa rencana sebelumnya. Aku resign karna aku mau ikut kegiatan sosial yang diadain sama temenku di desa. Aku udah mikir soal hal ini” jelas Gia. Ia ikut sedih karena Nita memasang ekspresi semakin sedih. “Yaudah kalo emang ini keputusan kamu, aku dukung” jawab Nita yang langsung memeluk Gia.
Setelah selesai membereskan meja kerja, Gia langsung menuju ruang kepala kantor. Perasaanya sedikit nervous. Terdengar suara berwibawa dari dalam ruangan yang memrintahkan untuk masuk. “Ya ada perlu apa, Gia?” tanya Pak Anton. “Saya ingin memberikan surat resign saya pak. Sebelumnya saya berterima kasih untuk kesempatan kerja yang telah diberikan pada saya” jawab Gia. “Apa alasan anda resign?” tanya Pak Anton lagi. “Saya akan mengikuti kegiatan sosial, Pak. Memperbaiki sekolah di desa sekaligus menjadi tenaga pengajarnya. Saya mengikuti kata hati saya untuk mengikuti ini, Pak” jawab Gia dengan jujur. “Baiklah jika itu memang keputusan anda. Semoga sukses” jawab Pak Anton dengan ekspresi biasa saja. Setelah berpamitan dengan Pak Anton, Gia langsung berpamitan dengan teman-temannya. Banyak yang kaget dengan keputsan Gia untuk resign dengan status yang masih masa percobaan, tapi dihadapi dengan santai oleh Gia.
Tidak tahu kenapa ia ingin rasanya cepat-cepat beranjak dari kantor itu. Setelah selesai ia langsung buru-buru keluar dan melaju sepeda motornya dengan kecepatan yang menurutnya memang sudah terasa ngebut. Gia diam selama perjalanan, lebih tepatnya melamun. Mengikuti alur jalan yang telah direkam oleh pikirannya tanpa tahu tujuan dan akhirnya sampai di rumahnya
 Sesampai dirumah Gia langsung mengemaskan barang-barang yang akan ia bawa. Setengah pakaian yang ada dilemari pakaian ia bawa serta perlengkapan pribadi lainnya. “Kok sibuk bolak-balik kluar masuk kamar dari tadi?” tanya mama yang melihat Gia sudah sibuk bolak-balik dari kamar ke dapur. “Aku nyiapin barang-barang yanng mau dibawa besok Ma” jawab Gia datar. Mama Gia sudah tidak kuasa lagi menahan apa yang diinginkan Gia. “Anak ini memang sudah keras kepala dari dulu” ujar sang mama dalam hati.


Gia akan pergi menggunakan bis, ia sudah menghubungi Ryan, temannya yang sudah di sana untuk memberi tahu jika ia sudah akan berangkat pagi ini. Perjalanan sekitar tujuh jam dari kota yang akan dilanjutkan menggunakan sepeda motor yang ditempuh selama kurang lebih satu setengah jam dengan kondisi jalan yang masih tanah dan jika hujan akan menjadi lebih susah dilewati karena becek.
Setelah melewati perjalanan panjang, akhrinya Gia sampai di sebuah rumah warga. Di sana sudah ada Ryan dan teman-teman lainnya. “Eh Gi, apa kabar? Sampe juga akhirnnya” sapa Ryan yang langsung bersalaman dengan Gia. “Alhamdulillah Yan, capek banget, jalanan sini mantap. Ada yang berbatu dan tanah becek” ujar Gia dengan wajah letihnya. Teman-teman lainnya langsung menuyuruh Gia buat masuk dan beristirahat
Setelah beristirahat hampir dua jam Gia mengajak Nia salah satu temannya di kegiatan tersebut untuk melihat sekolah yang ada di desa tersebut. Sekolah dasar itu memang tidak layak disebut sekolah, lantainya tidak semen apalagi keramik tetapi hanya lantai tanah. Sebagian dari bangunan sekolah dasar itu memang sudah dibangun oleh teman-teman yang sudah dua minggu berada disini. “Besok anak-anak sekolah masukkan?” tanya Gia. “Iya masuk kok Gi, disini kelas cuma tiga. Jadi anak kelas satu gabung dengan kelas dua, kelas tiga dengan kelas empat, kelas lima gabung dengan kelas enam” terang Nia. Gia hanya manggut-manggut mengerti.
Matahari menunjukan sudah akan kembali ke peraduan. Adzan magrib sudah berkumandang. Para relawan yang merupakan teman-teman Gia diberi tempat oleh warga di desa ini. Tetapi antara laki-laki dan perempuan pisah rumah, meskipun masih saling berdekatan. Suasana malam di sini sungguh sepi, pemukiman warga desa ini banyak ditumbuhi pohon-pohon bambu yang semak membuat suasana desa yang semakin malam semakin sunyi, karena setelah waktu salat Isya warga kebanyakan langsung tidur dan akan memulai aktivitas kembali setelah salat Subuh.

Pukul enam pagi, anak-anak kampung ini sudah siap-siap untuk sekolah. Semua para relawan juga sudah siap dengan aktivitas masing-masing. Relawan ini terdiri dari lima perempuan termasuk Gia dan sepuluh laki-laki. Pada pagi hingga siang, relawan perempuan dan dua orang relawan laki-laki membantu mengajar di sekolah, sedangkan yang lainnya bersama warga lain membangun sekolah yang belum setengah jadi.
Gia senang melihat anak-anak yang pergi ke sekolah dengan jalan kaki bersama teman-teman sepantaran mereka. Wajah mereka yang ceria, terlihat seperti tidak memiliki beban sama sekali walaupun ke sekolah harus menggunakan baju sekolah seadanya dan juga sandal jepit. Ia selalu ingat dirinya saat masih kecil dulu. Ia bersyukur saat sekolah dulu masih bisa pakai sepatu dan tas baru disetiap tahun ajaran baru. “Hai adik-adik, mau kesekolah ya?” tanya Gia dengan senyum simpul yang merekah diwajahnya. “Iya kak. Kakak orang baru ya disini?” jawab anak laki-laki berkulit gelap, sepertinya ia suka main diluar saat tengah hari. “Iya. Kakak baru datang kemarin dan akan ikut mengajar di sekolah kalian dengan teman-teman kakak ini” jawab Gia sambil menoleh ke arah teman-temannya. “Wah asikkk” seru anak perempuan dengan rambut ikat dua di kepalanya. “Yaudah yuk pergi sama-sama” ajak Gia. “Ayoooo!!” seru anak-anak itu. Gia dan teman-temannya pun pergi beriringan dengan anak-anak yang mereka temui
Sesampai di sekolah, anak-anak itu langsung menuju ke kelas mereka. Gia kebagian mengajar kelas satu dan dua. Waktu menunjukan pukul tujuh, Gia masuk kelas tempat ia mengajar. “Loh itu kakak yang tadi” seru salah satu anak pada teman-temannya. Gia langsung menyuruh anak itu menyiapkan teman-temannya. Setelah itu Gia langsung memperkenalkan diri “Nama ibu Gia Saputri, ibu kemarin baru tiba di kampung ini menyusul teman-teman ibu yang sudah duluan dan ibu akan mengajar kalian sampai sekolah kalian selesai dibangun” terang Gia pada anak muridnya. “Bu, nama saya Guntur” ujar anak yang tadi berangkat bersama. Anak yang berkulit gelap itu.
Di kelas terdiri dari dua puluh orang anak. Sepuluh anak kelas satu dan sepuluh orang anak kelas dua. Gia merupakan orang yang selalu ingin berbagi dengan sesama dan saat mengajar pun ia tak lupa untuk berbagi bukan hanya ilmu tetapi saat Gia mengajar dan mengajukan pertanyaan ia selalu memberi hadiah berupa jajanan untuk anak yang bisa menjawab pertanyaannya. Saat Gia menanyakan lima belas dikurang tiga, anak-anak langsung bergegas menghitung, berbeda dengan Guntur yang langsung mengangkat tangannya “Dua bu” jawabnya dengan antusias. Teman-temanya langsung diam. Saat Gia mengatakan salah, teman-teman Guntur langsung menyorakinya, tetapi Gia tetap memberi Guntur hadiah berupa dua buah permen.
Awalnya anak-anak tidak mau menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Gia entah karena malu atau tidak tahu, tetapi saat diberi tahu akan diberi hadiah, mereka langsung excited untuk menjawab. Gia memang sudah menyiapkan berbagai jajanan untuk anak-anak karena ia juga menyenangi anak-anak.
Sekitar pukul sebelas, Gia dan teman-temannya selesai mengajar. Mereka langsung pulang ke tempat mereka tinggal untuk istirahat sejenak. Kegiatan lain akan dimulai saat panas tidak terlalu menyengat.
Sekitar pukul dua siang, mereka memulai kembali aktivitas membantu para warga dan relawan lain memperbaiki sekolah. Relawan perempuan termasuk Gia hanya membantu yang mereka bisa. Setelah ashar, relawan perempuan membuat kelas membaca maupun menulis. Setiap pertemuan tema yang diangkat berbeda-beda, kali ini mereka membuat kelas menulis puisi.
Anak-anak desa ini sangat excited dengan kedatangan orang-orang dari luar kampung mereka apalagi saat diajak belajar begini. Mereka antara suka dan bingung saat disuruh membuat puisi, tetapi sebelumnya dicontohkan oleh kakak-kakak relawan apa itu puisi dan contohnya. Setelah anak-anak selesai membuat puisi, mereka disuruh membacakan puisinya. Tetapi ada satu anak yang tidak ingin maju menampilkan puisi buatannya. “Siapa lagi yang belum maju menampilkan puisi, adik-adik?” Tanya Gia. Semua diam, karena merasa sudah maju membacakan puisi buatannya, tetapi ada satu yang menunduk dengan wajah lesu. Guntur. Ya, anak itu tidak membacakan puisi buatannya. “Loh, Guntur kenapa nunduk? Belom baca puisinya kan?” Tanya Gia. Guntur masih tetap menunduk “Iya bu” jawabnya. “Guntur tegakkan kepalanya lihat kedepan, jawab kenapa tidak maju? Tanya Gia sekali lagi. Guntur pun meneggakkan kepalanya “Saya ndak tau Bu mau mulai dari mana, saya ndak bisa buat kata-katanya” jawab Guntur dengan suara lesu.
Nia pun langsung menghampiri Guntur “Adik-adik, kalau memang ndak bisa, kenapa tidak bertanya dan meminta bantuan? Kami di sini pasti akan bantu kalau kalian tidak bisa. Jangan malau atau takut ya” ujar Nia dengan lembut. Guntur hanya mengangguk. Kegiatan pun dilanjutkan dengan games. Anak-anak itu sangat terlihat senang diajak bermain hingga senja datang dan anak-anak pulang dengan letih karena asyik bermain.

Hari-hari Gia menjadi relawan dilewati seperti itu selama hampir sebulan. Pembangunan sekolah sudah sekitar tujuh puluh persen. Gia berencana akan pulang bersama dengan teman-teman lainnya. Menyelesaikan kegiatan ini hingga semuanya beres. Gia senang berada di tempat ini, mengajari anak-anak ataupun membantu ibu-ibu.
Rencana hanya sesuatu yang dirancang untuk dilakukan kemudian hari, tapi semuanya hanya Tuhan yang menentukan. Ketika Gia dan teman-temannya sedang menyiapkan perlengkapan untuk lomba, ia mendapat telepon dari adiknya. Suara anak perempuan yang agak cempreng itu memekakan telinga “Kak kak, halo kak Gia…” sapa Dina dari ujung telepon. “Iya halo, Din ndak usah teriak-teriak Din, santai aja nelponnya. Ada apa sih teriak-teriak gitu?” Tanya Gia heran. Tak biasanya Dina menelponnya seperti itu. “Kak kak, mama masuk rumah sakit kak. Dari kemarin sih masuknya” seketika suara Dina langsung terdengar santai. “Aku gitu tadi supaya kakak panik aja. Rupanya tidak yaa” ujarnya santai sambil tertawa kecil. “Heeehh kamu ini biasaan. Mama kenapa bisa masuk rumah sakit, Dek?” tanya Gia, wajahnya berubah menjadi khawatir. “Mama kemarin jatuh pas lagi di kamar mandi Kak, lalu pingsan. Aku gemeteran kak, asli. Untungnya abah pas lagi dirumah. Jadi langsung cepat-cepat dibawa kerumah sakit” terang Dina. “Tapi sakitnya, sakit apa?” Gia kembali bertanya. “Kecapekan sih kak, beberapa hari pulang malam nge-handle toko juga kan mama pengen diet katanya” jawab Dina. “Oalah, kenapa sih macem-macem aja kayak anak muda ajasi” balas Gia.
Keheningan beberapa detik terjadi sejenak ditelepon itu dan bisa diatasi oleh Dina. “Kak, kalo bisa kakak pulang deh. Kasihan mama Kak, kayaknya rindu sama kakak. Rumah sekarang jadi kurang rame Kak” ujar Dina. Gia diam, pikirannya kembali pada awal-awal ia meminta izin pada mamanya untuk mengikuti kegiatan ini. Mamanya yang melarang Gia untuk pergi kegiatan yang jauh dari rumah dalam waktu yang lumayan. “Kak kok diem?” Tanya Dina agak keras, membuat Gia sadar dari lamunannya. “Eh iya nanti, kakak kasih kabar lagi kalo jadi pulang” jawab Gia. “Yah kakak ni pake dipikir segala, yaudah deh iya” balas Dina yang terdengar acuh dengan jawaban Gia.
Mengetahui kabar sang mama yang sakit dan diminta pulang oleh adiknya, membuat Gia berpikir dua kali. Ia merasa masih punya tanggung jawab yang ia pilih di sini. Tak enak dengan teman-teman yang duluan udah datang di sini dan dia yang datang menyusul malah pulang duluan. Gia tahu, mamanya yang selalu mengandalkan dirinya dari pada adiknya, mungkin karena ia anak sulung. Gia bingung. Naluri seorang anak menyuruhnya untuk tetap pulang, tetapi lain di hati kecilnya mengenai tanggung jawab, ia masih harus tetap di sini. 
“Ni, tadi adik aku nelpon ngabarin mama ku masuk rumah sakit, adik aku minta aku pulang karena kasihan dengan mama” Gia akhirnya menceritakan hal ini pada Nia, teman dekatnya selama kegiatan ini berlangsung. “Sakit apa Gi?” sela Nia. “Awalnya jatoh di kamar mandi, kecapekan sih kata adikku” jawab Gia. “Aku sebenernya mau pulang, tapi aku ngerasa masih punya tanggung jawab di sini jadi aku bingung mau pulang atau ndak” sambung Gia. Nia diam, sepertinya ia berpikir. “Gini Gi, kamu memang punya tanggung jawab di sini, tapi aku rasa tanggung jawab kamu sebagai anak untuk merawat orang tua itu lebih penting lagi. Kita di sini ramai bisa saling bantu. Jadi kamu kalau mau pulang, ya gapapa kok” ujar nia. “Tapi aku gak enak sama teman-teman di sini. Aku datang belakangan dan pulang masa duluan” sela Gia. “Teman-teman ngerti kok pasti kalo urusan kamu kaya gitu” terang Nia. “Iyasih, yaudah besok pagi aku pulang aja deh ya” ujar Gia yang akhirnya membuat keputusan. Nia langsung mengangguk meyakinkan Gia. 

Setelah malamnya Gia mengutarakan hal kepulangan pada teman-teman relawan. Paginya Gia sudah mengemaskan barang-barangnya, ia bangun lebih awal dari biasanya. Satu hal yang terus terlintas dipikirannya yaitu selain berpamitan dengan warga desa, ia juga harus berpamtan dengan anak-anak yang sering ia ajar. Gia memutuskan untuk ke sekolah dulu sebentar dengan teman-teman yang akan mengajar.
Sesampainya di sekolah Gia langsung menuju kelas. Tak biasanya anak-anak yang ia ajar datang mendekati bel masuk. Setelah semuanya sudah datang dan bel masuk kelas berbunyi, Gia membuka suasana kelas seperti biasanya. “Selamat pagi adik-adik semua..” ucap Gia. “Selamat pagi buuu…” sambar anak-anak itu dengan cepat dan suara lantang bersemangat. “Adik-adik sebelumnya di sini ibu mau minta maaf jika selama ibu mengajar disini berbuat kesalahan baik kata maupun perbuatan, ibu di sini ingin berpamitan dengan kalian karena ibu akan pulang” ujar Gia. Mendengar kata-kata ‘pulang’ raut wajah anak-anak itu berubah, mereka menjadi kaget. “Ibu mau pulang kemana?” “Ngapain pulang Bu?” berbagai pertanyaan terlontar dari anak-anak itu.
Gia diam. Ia bingung antara ingin menangis atau tersenyum melihat tingkah anak-anak seperti itu. “Tenang dulu ya, ibu akan jelaskan kenapa ibu akan pulang” ujar Gia agar anak-anak itu tidak ribut dulu. “Ibu akan pulang dan sepertinya tidak akan kembali mengajar di sini karena mamnya ibu sedang sakit. Ibu harus merawat mamanya ibu..”. “Kalian kalau mamanya sakit pasti akan bantu merawatkan?” lanjut Gia. Anak-anak itu ada yang menjawab iya dan ada yang menangis karena merasa kehilangan Gia. 
Gia masih tetap bingung antara harus bersedih juga atau bagaimana. “Kalian jangan nangis dan sedih, kan ada yang gantiin ibu. Masih banyak teman-teman ibu yang ada di sini untuk ngajarin kalian” terang Gia. “Kalau begitu ibu pamit ya, kalian janji harus belajar yang rajin dan selalu menyayangi orang tua kalian” sambung Gia. Anak-anak itu langsung menghampiri Gia memeluknya. Gia merasa terharu dan ikut menangis. Tiba-tiba Guntur ikut mengampirinya “Ibu, saya punya permen tadi baru beli, lima ratus dapat dua. Satu untuk saya dan satu untuk ibu sebagai kenang-kenangan dari saya ya bu. Semoga ibu senang karna waktu ibu ngasi saya dua permen, saya juga senang” ujar Guntur dengan polosnya. 
Saat melihat bagian belakang bungkus permen itu ia melihat tulisan ‘Don’t Say Goodbye’. Mata Gia semakin berkaca-kaca, ia tak terpikir akan diberi sesuatu yang sangat sederhana, mungkin menurutnya kurang berharga yang diberi oleh murid yang paling susah ia ajarkan tetapi ini menjadi sebuah kenangan yang tak akan ia lupakan. “Terima kasih ya..” ucap Gia.
Gia tidak bisa lama-lama karena takut ketinggalan bis. “Terima kasih ya semuanya. Ibu doakan semoga kalian semua sukses” ucap Gia dengan semangatnya. Anak-anak langsung berebut menyalaminya. Ia berjalan gontai meninggalkan ruang kelas itu. Sekali lagi ia melihat anak-anak di kelas dan melihat tempat ia mengajar membuat Gia antara ingin menangis atau tersenyum karena mereka semua memiliki kenangan untuk Gia.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel "Sepatu Terakhir"

Resensi Cerita Rakyat "Raja Tan Unggal"

Bercerita