Kebahagiaan Seperti Permen
Hujan
tidak menunjukan kondisi
akan berhenti dari kemarin sore. Sebenarnya bulan ini bukan waktunya musim
hujan, tetapi hujan selalu datang dua hari di tiap pekan. Hujan ini menyebabkan
Gia pergi kerja agak siang karena merasa malas menggunakan motor. “Gocar aja Gi, daripada telat masuk kantor” ujar mamanya yang baru
selesai sarapan. Gia yang dari tadi menatap keluar jendela untuk memastikan
gerimis tidak lagi terasa lebat merasa bimbang. “Ndak ah ma, sayang duit. Lumayan gocar ke kantor dua puluh lima ribu bisa buat
beli bensin full tank motor sendiri”
ujar Gia dengan manyun. “Yampun
pelit kebangetan, untuk diri sendiri juga” jawab mama sinis.
Setelah
berpikir panjang, akhirnya Gia memutuskan untuk memakai jas hujan dengan
terpaksa. “Dari tadi kek” ujar mamanya saat Gia pamit pergi. Gia diam tanpa
merespon perkataan sang mama dan langsung bergegas pergi.
Waktu
menunjukan hampir setengah sembilan pagi, tetapi jalanan masih terlihat ramai
dengan mobil-mobil. Sepertinya kemacetan baru bisa terurai terlihat dari
ramainya mobil, tetapi
jalanan sudah lengang. Gia memacu motor maticnya dengan kecepatan sedang,
“Ngeri juga mau ngebut, jalanan basah takut licin” ucapnya dalam hati. Setelah
melalui perjalanan selama 25 menit, Gia sampai di kantor.
Gia
merupakan karyawan baru disalah satu asuransi swasta, ia baru bekerja sekitar
dua bulan dengan status masa percobaan. “Jam segini baru sampe, Gi?” tanya
salah satu temannya dengan melihat jam tangan yang hampir menunjukan pukul sembilan lewat lima belas menit.
“Iya ujan nih, rada macet juga” jawab Gia sedikit berbohong. “Baru pecobaan aja
udah berani telat” saut
Sasa sinis. Sasa memang selalu tidak suka apa yang dilakukan Gia, ia merasa
tersaingi dengan kinerja Gia yang baik saat bekerja. Mendengar hal itu Gia
hanya melirik dan memilih tak menanggapinya. Sasa sudah sering menyindir Gia tentang apapun yang dilakukan
Gia. Sebenarnya Gia ingin melawan sindiran Sasa, tapi ia masih tahu diri karena
masih dalam masa percobaan kerjanya.
Saat
jam istirahat, Gia yang sedang makan siang di warung makan seberang kantor
mendapat pesan broadcast dari teman
satu organisasi waktu dia kuliah. Pesan tersebut berisi tentang organisasi
sosial yang sedang mencari relawan tambahan
untuk
bisa bergabung pada kegiatan memperbaiki sekolah dan juga menjadi tenaga pengajar di sebuah daerah
terpencil. Ingatannya kembali pada masa lalu. Masa saat dia sibuk kuliah tapi
tidak lupa menyempatkan waktu untuk berbagi dengan anak-anak yang putus
sekolah. Gia berpikir kembali untuk mengikuti kegiatan ini. Sebenarnya dia
merindukan kegiatan seperti ini, sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak.
Pekerjaan yang saat ini ia lakukan hanya untuk mengisi hari-harinya agar tidak
menganggur setelah lulus kuliah. Gia
yang merupakan sarjana pendidikan merasa terpanggil jiwanya
kembali untuk selalu membantu masyarakat yang membutuhkan bantuan, terutama tentang pendidikan. Dia
memustuskan untuk ikut kegiatan sosial ini, dan melepaskan pekerjaannya.
Pikirannya saat ini hanya satu, dirinya harus bermanfaat untuk orang banyak.
“Ma,
kayaknya aku akan berhenti kerja deh” ujar Gia sambil melemparkan tasnya
ketempat tidur, ia baru saja pulang kerja. “Hah? Kenapa? Baru juga kerja dua
bulan, masa percobaan lagi. Emang mau ngapain kalo ndak kerja?” respon mama
Gia, kaget. Gia dengan ekspresi santainya sambil membuka kulkas, diam, dia
merasa haus dan harus minum dulu. “Aku mau ikut kegiatan sosial, memperbaiki sekolah dan menjadi relawan tenaga pengajar di sekolah itu
juga Ma” ujarnya santai. “Hah ikut kaya
begituan? Gak penting banget sih, sekarang tuh waktunya kamu cari uang. Udah
dikuliahin mahal-mahal,
lulus malah ndak
mau kerja. Malahan ngelakuin kegiatan yang aneh-aneh. Kan bisa bantu dengan
kasi duit doang, ndak
harus juga turun langsung ke sana. Emang kamu dikasih gaji di sana?” jawab
mamanya panjang, heran dengan pikiran anaknya. “Ma, mumpung aku masih belom
tua, masih bisa jalan, bisa
gerak, kenapa ndak untuk
bantu orang lain. Hidup
ndak selalu tentang materi
terus yang dicari Ma,
adakalanya harus bantu orang dengan tenaga kita sendiri. Emang kenapa sih, anak
mau buat baik aja gak didukung?” jelas Gia. Mama Gia tak mempedulikan jawaban anaknya. Ia langsung masuk ke
kamar dengan ekspresi sinisnya.
Gia
yang baru saja pulang kantor dan mengetahui sikap mamanya seperti itu
membuatnya tak ambil pusing. Ia langsung pergi mandi untuk merilekskan
tubuhnya. Selesai membersihkan badan, Gia berbaring sejenak, melamun, entah apa
yang dilamunkannya. Lalu ia teringat Ryan, teman yang mengirimkan pesan broadcast padanya. Gia pun bergegas
mengambil handphone menghubungi Ryan,
ia ingin memastikan kegiatan tersebut masih memerlukan orang untuk bergabung.
Tanpa terasa menit terasa cepat berjalan, malam datang. Gia merasa lapar
dan menuju meja makan, ternyata di sana
ada abah beserta ibu dan
adiknya. “Bah, Gia mau minta saran. Gia mau ikut kegiatan sosial yang diadain teman Gia yaitu memperbaiki sekolah dan menjadi relawan pengajar, tempatnya di desa. Gia akan meninggalkan pekerjaan Gia yang sekarang. Menurut
Abah gimana?” ujar Gia menjelaskan hal ini pada abahnya. “Maksudnya meninggalkan pekerjaan, berhenti
bekerja gitu?” jawab Abah sedikit bingung. “Iya Bah, karna kegiatan itu berlangsung sekitar satu
atau dua bulan” jawab Gia. “Yahh, Abah sih terserah kamunya aja, kalau semua
sudah dipertimbangkan baik-baik setelah selesai kegiatan itu kamu akan dapat
kerjaan lagi atau tidak. Kamu kan sudah dewasa, ya tau mana yang baik menurut
kamu atau gak. Semuanya Abah balikin ke kamu” terang ayahnya. Gia merasa senang
dengan jawaban abah. Ia merasa apa yang ia inginkan bisa berjalan sesuai dengan
keinginannya.
Keesokan harinya Gia berangkat lumayan awal dari biasanya, ekspresinya
ceria. “Tumben awal Gi? Setengah delapan aja belom” tanya mamanya. “Iya ma, mau beresin
meja kantor. Mau resign” ucap Gia santai. “Jadi beneran mau ikut kegiatan
itu?” tanya mamanya kembali dengan heran. Heran karena Gia memutuskan hal ini
begitu cepat. Gia tidak menjawab, ia hanya mengangguk atas pertanyaan sang
mama. Setelah berpamitan, Gia langsung meluncur dengan motor matic andalannya.
Jalan masih terlihat penuh kendaraan. Orang-orang yang melintas terlihat
sibuk. Bisa dibaca dari cara mengendalikan kendaraanya dengan pacuan serius
ditambah lagi suara klakson yang saling beradu. Semuanya terlihat ingin duluan
menang ke tempat tujuan. Gia masih menjalankan motornya dengan kecepatan
sedang.
Setelah sepuluh menit bermacet-macet,
akhirnya Gia sampai kantor yang belum terlalu ramai. Ia langsung menuju meja
kerjanya dan mengemaskan semua barang-barang yang ada di meja kerja. Nita,
teman kantor Gia yang hanya bersebelahan meja, heran
dengan Gia yang mengemaskan meja kerjanya. “Gi, mau kemana? Kok beberes meja?”
ujar wanita dengan potongan rambut bob itu. “Hm, mau.. mau.. aku mau resign, Nit” jawab Gia dengan suaranya yang diperkecil menyebut
kata ‘resign’. Nita terbelalak, ia kaget. Gia tak pernah
menyinggung-nyinggung hal seperti soal resign pada setiap obrolan tak penting mereka. “Seriusan Gi?
Kamu ndak lagi canda kan?” air
muka Nita berubah sedih. Gia dan Nita memang teman akrab dari pertama masuk.
Nita juga masih masa kerja percobaan. Mereka berdua selalu menceritakan apa
saja, penting atau tidak penting.
Gia diam, raut wajahnya juga berubah. Sepersekian detik ia kembali
mengukir senyum cantik diwajah ayunya. Sekarang matanya menatap Nita yang
menunduk lesu “Nit, maaf loh ya. Aku lupa ngasi tau kamu. Inipun mendadak tanpa
rencana sebelumnya. Aku resign karna aku mau ikut kegiatan sosial yang diadain sama temenku
di desa. Aku udah mikir soal
hal ini” jelas Gia. Ia ikut sedih karena Nita memasang ekspresi semakin sedih.
“Yaudah kalo emang ini keputusan kamu, aku dukung” jawab Nita yang langsung memeluk Gia.
Setelah selesai membereskan meja kerja, Gia langsung menuju ruang kepala
kantor. Perasaanya sedikit nervous.
Terdengar suara berwibawa dari dalam ruangan yang memrintahkan untuk masuk. “Ya
ada perlu apa, Gia?” tanya Pak Anton. “Saya ingin memberikan surat resign saya pak. Sebelumnya saya
berterima kasih untuk kesempatan kerja yang telah diberikan pada saya” jawab
Gia. “Apa alasan anda resign?” tanya
Pak Anton lagi. “Saya akan mengikuti kegiatan sosial, Pak. Memperbaiki sekolah di desa sekaligus menjadi tenaga pengajarnya. Saya mengikuti kata
hati saya untuk mengikuti ini, Pak” jawab Gia dengan jujur. “Baiklah jika itu memang keputusan anda.
Semoga sukses” jawab Pak Anton dengan ekspresi biasa saja. Setelah berpamitan dengan Pak Anton, Gia
langsung berpamitan dengan teman-temannya. Banyak yang kaget dengan keputsan
Gia untuk resign dengan status yang
masih masa percobaan, tapi dihadapi dengan santai oleh Gia.
Tidak tahu kenapa ia ingin rasanya cepat-cepat beranjak dari kantor itu.
Setelah selesai ia langsung buru-buru keluar dan melaju sepeda motornya dengan
kecepatan yang menurutnya memang sudah terasa ngebut. Gia diam selama
perjalanan, lebih tepatnya melamun. Mengikuti alur jalan yang telah direkam
oleh pikirannya tanpa tahu tujuan dan akhirnya sampai di rumahnya
Sesampai dirumah Gia langsung mengemaskan barang-barang
yang akan ia bawa. Setengah pakaian yang ada dilemari pakaian ia bawa serta
perlengkapan pribadi lainnya. “Kok sibuk bolak-balik kluar masuk kamar dari tadi?”
tanya mama yang melihat Gia sudah sibuk bolak-balik dari kamar ke dapur. “Aku
nyiapin barang-barang yanng mau dibawa besok Ma” jawab Gia datar. Mama Gia sudah tidak kuasa lagi menahan apa yang
diinginkan Gia. “Anak ini memang sudah keras kepala dari dulu” ujar sang mama dalam hati.
Gia
akan pergi menggunakan bis, ia sudah menghubungi Ryan, temannya yang sudah di sana untuk memberi tahu
jika ia sudah akan berangkat pagi ini. Perjalanan
sekitar tujuh jam dari kota yang akan dilanjutkan menggunakan sepeda motor yang
ditempuh selama
kurang lebih satu setengah jam dengan kondisi jalan yang masih tanah dan jika
hujan akan menjadi lebih susah dilewati karena becek.
Setelah melewati perjalanan panjang, akhrinya Gia sampai di sebuah rumah warga. Di sana sudah ada Ryan dan teman-teman lainnya. “Eh Gi, apa kabar? Sampe juga akhirnnya” sapa Ryan yang langsung bersalaman dengan Gia. “Alhamdulillah Yan, capek banget, jalanan sini mantap. Ada yang berbatu dan tanah becek” ujar Gia dengan wajah letihnya. Teman-teman lainnya langsung menuyuruh Gia buat masuk dan beristirahat
Setelah melewati perjalanan panjang, akhrinya Gia sampai di sebuah rumah warga. Di sana sudah ada Ryan dan teman-teman lainnya. “Eh Gi, apa kabar? Sampe juga akhirnnya” sapa Ryan yang langsung bersalaman dengan Gia. “Alhamdulillah Yan, capek banget, jalanan sini mantap. Ada yang berbatu dan tanah becek” ujar Gia dengan wajah letihnya. Teman-teman lainnya langsung menuyuruh Gia buat masuk dan beristirahat
Setelah beristirahat hampir dua jam Gia mengajak Nia salah satu temannya di kegiatan
tersebut untuk melihat sekolah yang ada di desa tersebut. Sekolah dasar itu
memang tidak layak disebut sekolah, lantainya tidak semen apalagi keramik
tetapi hanya lantai tanah. Sebagian dari bangunan sekolah dasar itu memang
sudah dibangun oleh teman-teman yang sudah dua minggu berada disini. “Besok
anak-anak sekolah masukkan?” tanya Gia. “Iya masuk kok Gi, disini kelas cuma
tiga. Jadi anak kelas satu gabung dengan kelas dua, kelas tiga dengan kelas
empat, kelas lima gabung dengan kelas enam” terang Nia. Gia hanya
manggut-manggut mengerti.
Matahari menunjukan
sudah akan kembali ke peraduan. Adzan magrib sudah berkumandang. Para relawan
yang merupakan teman-teman Gia diberi tempat oleh warga di desa ini. Tetapi
antara laki-laki dan perempuan pisah rumah, meskipun masih saling berdekatan. Suasana
malam di sini sungguh sepi, pemukiman warga desa ini banyak ditumbuhi
pohon-pohon bambu yang semak membuat suasana desa yang semakin malam semakin
sunyi, karena setelah waktu salat Isya warga kebanyakan langsung tidur dan akan
memulai aktivitas kembali setelah salat Subuh.
Pukul enam pagi,
anak-anak kampung ini sudah siap-siap untuk sekolah. Semua para relawan juga
sudah siap dengan aktivitas masing-masing. Relawan ini terdiri dari lima
perempuan termasuk Gia dan sepuluh laki-laki. Pada pagi hingga siang, relawan
perempuan dan dua orang relawan laki-laki membantu mengajar di sekolah,
sedangkan yang lainnya bersama warga lain membangun sekolah yang belum setengah
jadi.
Gia senang melihat
anak-anak yang pergi ke sekolah dengan jalan kaki bersama teman-teman
sepantaran mereka. Wajah mereka yang ceria, terlihat seperti tidak memiliki
beban sama sekali walaupun ke sekolah harus menggunakan baju sekolah seadanya
dan juga sandal jepit. Ia selalu ingat dirinya saat masih kecil dulu. Ia
bersyukur saat sekolah dulu masih bisa pakai sepatu dan tas baru disetiap tahun
ajaran baru. “Hai adik-adik, mau kesekolah ya?” tanya Gia dengan senyum simpul
yang merekah diwajahnya. “Iya kak. Kakak orang baru ya disini?” jawab anak
laki-laki berkulit gelap, sepertinya ia suka main diluar saat tengah hari.
“Iya. Kakak baru datang kemarin dan akan ikut mengajar di sekolah kalian dengan
teman-teman kakak ini” jawab Gia sambil menoleh ke arah teman-temannya. “Wah
asikkk” seru anak perempuan dengan rambut ikat dua di kepalanya. “Yaudah yuk
pergi sama-sama” ajak Gia. “Ayoooo!!” seru anak-anak itu. Gia dan
teman-temannya pun pergi beriringan dengan anak-anak yang mereka temui.
Sesampai di sekolah,
anak-anak itu langsung menuju ke kelas mereka. Gia kebagian mengajar kelas satu
dan dua. Waktu menunjukan pukul tujuh, Gia masuk kelas tempat ia mengajar. “Loh
itu kakak yang tadi” seru salah satu anak pada teman-temannya. Gia langsung
menyuruh anak itu menyiapkan teman-temannya. Setelah itu Gia langsung
memperkenalkan diri “Nama ibu Gia Saputri, ibu kemarin baru tiba di kampung ini
menyusul teman-teman ibu yang sudah duluan dan ibu akan mengajar kalian sampai
sekolah kalian selesai dibangun” terang Gia pada anak muridnya. “Bu, nama saya
Guntur” ujar anak yang tadi berangkat bersama. Anak yang berkulit gelap itu.
Di kelas terdiri dari
dua puluh orang anak. Sepuluh anak kelas satu dan sepuluh orang anak kelas dua.
Gia merupakan orang yang selalu ingin berbagi dengan sesama dan saat mengajar
pun ia tak lupa untuk berbagi bukan hanya ilmu tetapi saat Gia mengajar dan
mengajukan pertanyaan ia selalu memberi hadiah berupa jajanan untuk anak yang
bisa menjawab pertanyaannya. Saat Gia menanyakan lima belas dikurang tiga,
anak-anak langsung bergegas menghitung, berbeda dengan Guntur yang langsung
mengangkat tangannya “Dua bu” jawabnya dengan antusias. Teman-temanya langsung
diam. Saat Gia mengatakan salah, teman-teman Guntur langsung menyorakinya,
tetapi Gia tetap memberi Guntur hadiah berupa dua buah permen.
Awalnya anak-anak
tidak mau menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Gia entah karena malu atau
tidak tahu, tetapi saat diberi tahu akan diberi hadiah, mereka langsung excited untuk menjawab. Gia memang sudah
menyiapkan berbagai jajanan untuk anak-anak karena ia juga menyenangi anak-anak.
Sekitar pukul
sebelas, Gia dan teman-temannya selesai mengajar. Mereka langsung pulang ke
tempat mereka tinggal untuk istirahat sejenak. Kegiatan lain akan dimulai saat
panas tidak terlalu menyengat.
Sekitar pukul dua
siang, mereka memulai kembali aktivitas membantu para warga dan relawan lain memperbaiki
sekolah. Relawan perempuan termasuk Gia hanya membantu yang mereka bisa.
Setelah ashar, relawan perempuan membuat kelas membaca maupun menulis. Setiap
pertemuan tema yang diangkat berbeda-beda, kali ini mereka membuat kelas
menulis puisi.
Anak-anak desa ini
sangat excited dengan kedatangan
orang-orang dari luar kampung mereka apalagi saat diajak belajar begini. Mereka
antara suka dan bingung saat disuruh membuat puisi, tetapi sebelumnya
dicontohkan oleh kakak-kakak relawan apa itu puisi dan contohnya. Setelah
anak-anak selesai membuat puisi, mereka disuruh membacakan puisinya. Tetapi ada
satu anak yang tidak ingin maju menampilkan puisi buatannya. “Siapa lagi yang
belum maju menampilkan puisi, adik-adik?” Tanya Gia. Semua diam, karena merasa
sudah maju membacakan puisi buatannya, tetapi ada satu yang menunduk dengan
wajah lesu. Guntur. Ya, anak itu tidak membacakan puisi buatannya. “Loh, Guntur
kenapa nunduk? Belom baca puisinya kan?” Tanya Gia. Guntur masih tetap menunduk
“Iya bu” jawabnya. “Guntur tegakkan kepalanya lihat kedepan, jawab kenapa tidak
maju? Tanya Gia sekali lagi. Guntur pun meneggakkan kepalanya “Saya ndak tau Bu
mau mulai dari mana, saya ndak bisa buat kata-katanya” jawab Guntur dengan
suara lesu.
Nia pun langsung
menghampiri Guntur “Adik-adik, kalau memang ndak bisa, kenapa tidak bertanya
dan meminta bantuan? Kami di sini pasti akan bantu kalau kalian tidak bisa.
Jangan malau atau takut ya” ujar Nia dengan lembut. Guntur hanya mengangguk.
Kegiatan pun dilanjutkan dengan games. Anak-anak itu sangat terlihat senang
diajak bermain hingga senja datang dan anak-anak pulang dengan letih karena
asyik bermain.
Hari-hari Gia menjadi
relawan dilewati seperti itu selama hampir sebulan. Pembangunan sekolah sudah
sekitar tujuh puluh persen. Gia berencana akan pulang bersama dengan
teman-teman lainnya. Menyelesaikan kegiatan ini hingga semuanya beres. Gia
senang berada di tempat ini, mengajari anak-anak ataupun membantu ibu-ibu.
Rencana hanya sesuatu
yang dirancang untuk dilakukan kemudian hari, tapi semuanya hanya Tuhan yang
menentukan. Ketika Gia dan teman-temannya sedang menyiapkan perlengkapan untuk
lomba, ia mendapat telepon dari adiknya. Suara anak perempuan yang agak
cempreng itu memekakan telinga “Kak kak, halo kak Gia…” sapa Dina dari ujung
telepon. “Iya halo, Din ndak usah teriak-teriak Din, santai aja nelponnya. Ada
apa sih teriak-teriak gitu?” Tanya Gia heran. Tak biasanya Dina menelponnya
seperti itu. “Kak kak, mama masuk rumah sakit kak. Dari kemarin sih masuknya”
seketika suara Dina langsung terdengar santai. “Aku gitu tadi supaya kakak
panik aja. Rupanya tidak yaa” ujarnya santai sambil tertawa kecil. “Heeehh kamu
ini biasaan. Mama kenapa bisa masuk rumah sakit, Dek?” tanya Gia, wajahnya
berubah menjadi khawatir. “Mama kemarin jatuh pas lagi di kamar mandi Kak, lalu
pingsan. Aku gemeteran kak, asli. Untungnya abah pas lagi dirumah. Jadi
langsung cepat-cepat dibawa kerumah sakit” terang Dina. “Tapi sakitnya, sakit
apa?” Gia kembali bertanya. “Kecapekan sih kak, beberapa hari pulang malam nge-handle toko juga kan mama pengen diet
katanya” jawab Dina. “Oalah, kenapa sih macem-macem aja kayak anak muda ajasi”
balas Gia.
Keheningan beberapa
detik terjadi sejenak ditelepon itu dan bisa diatasi oleh Dina. “Kak, kalo bisa
kakak pulang deh. Kasihan mama Kak, kayaknya rindu sama kakak. Rumah sekarang
jadi kurang rame Kak” ujar Dina. Gia diam, pikirannya kembali pada awal-awal ia
meminta izin pada mamanya untuk mengikuti kegiatan ini. Mamanya yang melarang
Gia untuk pergi kegiatan yang jauh dari rumah dalam waktu yang lumayan. “Kak
kok diem?” Tanya Dina agak keras, membuat Gia sadar dari lamunannya. “Eh iya
nanti, kakak kasih kabar lagi kalo jadi pulang” jawab Gia. “Yah kakak ni pake
dipikir segala, yaudah deh iya” balas Dina yang terdengar acuh dengan jawaban
Gia.
Mengetahui kabar sang
mama yang sakit dan diminta pulang oleh adiknya, membuat Gia berpikir dua kali.
Ia merasa masih punya tanggung jawab yang ia pilih di sini. Tak enak dengan
teman-teman yang duluan udah datang di sini dan dia yang datang menyusul malah
pulang duluan. Gia tahu, mamanya yang selalu mengandalkan dirinya dari pada
adiknya, mungkin karena ia anak sulung. Gia bingung. Naluri seorang anak
menyuruhnya untuk tetap pulang, tetapi lain di hati kecilnya mengenai tanggung
jawab, ia masih harus tetap di sini.
“Ni, tadi adik aku
nelpon ngabarin mama ku masuk rumah sakit, adik aku minta aku pulang karena
kasihan dengan mama” Gia akhirnya menceritakan hal ini pada Nia, teman dekatnya
selama kegiatan ini berlangsung. “Sakit apa Gi?” sela Nia. “Awalnya jatoh di
kamar mandi, kecapekan sih kata adikku” jawab Gia. “Aku sebenernya mau pulang,
tapi aku ngerasa masih punya tanggung jawab di sini jadi aku bingung mau pulang
atau ndak” sambung Gia. Nia diam, sepertinya ia berpikir. “Gini Gi, kamu memang
punya tanggung jawab di sini, tapi aku rasa tanggung jawab kamu sebagai anak
untuk merawat orang tua itu lebih penting lagi. Kita di sini ramai bisa saling
bantu. Jadi kamu kalau mau pulang, ya gapapa kok” ujar nia. “Tapi aku gak enak
sama teman-teman di sini. Aku datang belakangan dan pulang masa duluan” sela
Gia. “Teman-teman ngerti kok pasti kalo urusan kamu kaya gitu” terang Nia.
“Iyasih, yaudah besok pagi aku pulang aja deh ya” ujar Gia yang akhirnya
membuat keputusan. Nia langsung mengangguk meyakinkan Gia.
Setelah malamnya Gia
mengutarakan hal kepulangan pada teman-teman relawan. Paginya Gia sudah
mengemaskan barang-barangnya, ia bangun lebih awal dari biasanya. Satu hal yang
terus terlintas dipikirannya yaitu selain berpamitan dengan warga desa, ia juga
harus berpamtan dengan anak-anak yang sering ia ajar. Gia memutuskan untuk ke
sekolah dulu sebentar dengan teman-teman yang akan mengajar.
Sesampainya di
sekolah Gia langsung menuju kelas. Tak biasanya anak-anak yang ia ajar datang
mendekati bel masuk. Setelah semuanya sudah datang dan bel masuk kelas
berbunyi, Gia membuka suasana kelas seperti biasanya. “Selamat pagi adik-adik
semua..” ucap Gia. “Selamat pagi buuu…” sambar anak-anak itu dengan cepat dan
suara lantang bersemangat. “Adik-adik sebelumnya di sini ibu mau minta maaf
jika selama ibu mengajar disini berbuat kesalahan baik kata maupun perbuatan,
ibu di sini ingin berpamitan dengan kalian karena ibu akan pulang” ujar Gia.
Mendengar kata-kata ‘pulang’ raut wajah anak-anak itu berubah, mereka menjadi
kaget. “Ibu mau pulang kemana?” “Ngapain pulang Bu?” berbagai pertanyaan
terlontar dari anak-anak itu.
Gia diam. Ia bingung
antara ingin menangis atau tersenyum melihat tingkah anak-anak seperti itu.
“Tenang dulu ya, ibu akan jelaskan kenapa ibu akan pulang” ujar Gia agar
anak-anak itu tidak ribut dulu. “Ibu akan pulang dan sepertinya tidak akan
kembali mengajar di sini karena mamnya ibu sedang sakit. Ibu harus merawat
mamanya ibu..”. “Kalian kalau mamanya sakit pasti akan bantu merawatkan?”
lanjut Gia. Anak-anak itu ada yang menjawab iya dan ada yang menangis karena
merasa kehilangan Gia.
Gia masih tetap
bingung antara harus bersedih juga atau bagaimana. “Kalian jangan nangis dan
sedih, kan ada yang gantiin ibu. Masih banyak teman-teman ibu yang ada di sini
untuk ngajarin kalian” terang Gia. “Kalau begitu ibu pamit ya, kalian janji
harus belajar yang rajin dan selalu menyayangi orang tua kalian” sambung Gia. Anak-anak
itu langsung menghampiri Gia memeluknya. Gia merasa terharu dan ikut menangis.
Tiba-tiba Guntur ikut mengampirinya “Ibu, saya punya permen tadi baru beli,
lima ratus dapat dua. Satu untuk saya dan satu untuk ibu sebagai
kenang-kenangan dari saya ya bu. Semoga ibu senang karna waktu ibu ngasi saya dua permen, saya juga senang” ujar Guntur dengan polosnya.
Saat melihat bagian
belakang bungkus permen itu ia melihat tulisan ‘Don’t Say Goodbye’. Mata Gia
semakin berkaca-kaca, ia tak terpikir akan diberi sesuatu yang sangat
sederhana, mungkin menurutnya kurang berharga yang diberi oleh murid yang
paling susah ia ajarkan tetapi ini menjadi sebuah kenangan yang tak akan ia
lupakan. “Terima kasih ya..” ucap Gia.
Gia tidak bisa lama-lama
karena takut ketinggalan bis. “Terima kasih ya semuanya. Ibu doakan semoga
kalian semua sukses” ucap Gia dengan semangatnya. Anak-anak langsung berebut
menyalaminya. Ia berjalan gontai meninggalkan ruang kelas itu. Sekali lagi ia
melihat anak-anak di kelas dan melihat tempat ia mengajar membuat Gia antara ingin
menangis atau tersenyum karena mereka semua memiliki kenangan untuk Gia.
Komentar
Posting Komentar